Rabu, 25 September 2013

cerpen



Detik  Jam
                                      Karya: Aurora Ayu

          Matahari di ufuk timur terasa begitu hangat. Menghilangkan kabut di jalan pagi ini. Membangunkan segenap manusia untuk memulai harinya kembali. Hari ini. Dan sampai beberapa jam ke depan. Untuk menitih menit-menit hari ini menuju masa depan yang lebih cerah.
Di depan kelas. Di sudut, aku duduk dengan nyamannya. Santai. Menunggu kehadiran sang guru. Darahku mengalir dengan tenang. Denyut jantungku berdetak dengan normal seiring dengan irama jam, detik jam, yang terus bergulir dengan tenangnya. Tanpa memikirkan siapapun yang akan protes, karena dirinya akan terus bergulir dan berganti waktu.
Seseorang yang baik hati, yang selalu memberikan ilmunya padaku, kini berdiri di depanku. Menuju ke depan kelas. Tersenyum. Dan memulai rutinitas ini kembali. Menumpahkan sedikit demi sedikit ilmunya. Tanpa pamrih. Mengajarkan padaku, pentingnya waktu ini. Tiap detik dari tiap jam.
Aku menulis segenap kata yang diucapkannya. Tanganku bergerak, menodai setiap baris dari buku tulisku. Dengan pena hitam. Menodai dengan kata-kata yang dapat merubah masa depanku.
“Ada yang mau mengacungkan tangan?”
“Deg!”
Jantungku berdetak semakin cepat. Detik jam di sudut sana telah kalah dengan denyut jantungku. Serasa bibir ini ingin berucap. Namun seperti ada yang membungkam. Jantung ini. Detik jam disana.
“Ya, Tuhan. Aku ingin sekali mengacungkan tanganku.”
Aku berada diambang pintu. Antara “ya” dan “tidak”. Detik jam disana tetap berdetak walau perasaan tak menentu yang aku rasakan.
“Ayo, mana yang mengacungkan tangan? Ibu menunggu?!” sambil , melambai pada anak didiknya, beliau memacu dan memompa jantungku secara tidak langsung.
“Ya, Tuhan. Aku ingin sekali mengucapkannya. Aku tahu jawabannya. Aku ingin katakan.” Dalam batinku terjadi perang. Aku ragu akan diriku sendiri.
“Saya, Bu.” Kata-kata itu. Aku selalu gagal, gagal mengucapkannya. Gagal memberanikan diriku untuk mengangkat tangan ini barang hanya beberapa detik. Hanya beberapa detik. Aku selalu ragu.
“Keberanian itu awal dari kesuksesan. Silahkan acungkan tangan kalian.”
“Aduh.” kata-kata itu. Jantungku semakin berdetak. Detik jam seakan semakin lambat berdetak. Jantungku berdetak. Berdetak lebih cepat. Seakan bunyi genderang ketika akan perang. Terasa dingin. Aku merasakannya. Kakiku dingin.
“Ya Tuhan, kenapa tangan ini tak mau terangkat. Mulut ini tak berani berucap. Aku tahu jawanbannya.” Sungguh, detik jam kala itu, seakan kalah dengan detak jantungku.
“Deg…, deg…, deg…,”
Saat tangan ini mulai terangkat, seketika itu mulai ada suara. “Ya, silahkan.” Suara sang guruku. Seorang anak yang duduk di belakang mengacungkan tangannya. Mengatakan jawabannya.
“Oh…, Tuhan. Aku kalah dari dia.” dalam batinku, aku merasa bersalah pada diriku sendiri. Dia lebih berani dari aku.
“Ya kita beri tepuk tangan, karena teman kalian ini telah berani duluan menjawab. Kita beri tepuk tangan.”
“plok… plok, plok, plok”
Sebuah penghargaan dari guruku. Tangankupun seraya ikut memberikannya tepuk tangan. Keberanian. Dia lebih berani dari aku saat ini. Keberanian. Tampaknya itu yang harus aku tanamkan dalam diriku. Detik-detik tadi itu. Membuatku sadar. Membuatku mengerti. Bahwa hidup ini juga butuh keberanian. Jadi, sesuatu yang harus aku tanamkan. Detik-detik ke depan nanti, hingga esok sampai kapanku, aku akan dan harus menanamkan dan memunculkan keberanian yang lebih, dalam diriku, dan hidupku ke depan. Tak akan kalah oleh waktu. Bahkan hanya untuk detik-detik jam. Akan ku taklukan setiap detik jam hidup ini. Bahwa, waktu itu tak bisa berhenti dan tak akan kembali ke masa lalu, yang bisa aku lakukan, manfaatkan waktu ini untuk merubah hari esok yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar