cerpen
Detik Jam
Karya: Aurora
Ayu
Matahari
di ufuk timur terasa begitu hangat. Menghilangkan kabut di
jalan pagi ini. Membangunkan segenap manusia untuk
memulai harinya kembali. Hari ini. Dan sampai beberapa jam ke depan. Untuk
menitih menit-menit hari ini menuju masa depan yang lebih cerah.
Di depan kelas. Di sudut,
aku duduk dengan nyamannya. Santai. Menunggu kehadiran sang guru. Darahku
mengalir dengan tenang. Denyut jantungku berdetak dengan normal seiring dengan
irama jam, detik jam, yang terus bergulir dengan tenangnya. Tanpa memikirkan
siapapun yang akan protes, karena dirinya akan terus bergulir dan berganti waktu.
Seseorang yang baik hati,
yang selalu memberikan ilmunya padaku, kini berdiri di depanku. Menuju ke depan
kelas. Tersenyum. Dan memulai rutinitas ini kembali. Menumpahkan sedikit demi
sedikit ilmunya. Tanpa pamrih. Mengajarkan padaku, pentingnya waktu ini. Tiap
detik dari tiap jam.
Aku menulis segenap kata
yang diucapkannya. Tanganku bergerak, menodai setiap baris dari buku tulisku.
Dengan pena hitam. Menodai dengan kata-kata yang dapat merubah masa depanku.
“Ada
yang mau mengacungkan tangan?”
“Deg!”
Jantungku berdetak semakin
cepat. Detik jam di sudut
sana telah kalah dengan denyut jantungku. Serasa bibir ini ingin berucap. Namun
seperti ada yang membungkam. Jantung ini. Detik jam disana.
“Ya, Tuhan. Aku
ingin sekali mengacungkan tanganku.”
Aku berada diambang pintu.
Antara “ya” dan “tidak”. Detik jam disana tetap berdetak walau
perasaan tak menentu yang aku rasakan.
“Ayo,
mana yang mengacungkan tangan? Ibu menunggu?!” sambil
, melambai pada anak didiknya, beliau memacu dan memompa jantungku secara tidak
langsung.
“Ya, Tuhan. Aku
ingin sekali mengucapkannya. Aku tahu jawabannya. Aku ingin katakan.” Dalam batinku terjadi perang. Aku ragu akan diriku
sendiri.
“Saya, Bu.” Kata-kata itu. Aku selalu gagal, gagal
mengucapkannya. Gagal memberanikan diriku untuk mengangkat tangan ini barang
hanya beberapa detik. Hanya beberapa detik. Aku selalu ragu.
“Keberanian
itu awal dari kesuksesan. Silahkan acungkan tangan kalian.”
“Aduh.” kata-kata itu. Jantungku semakin berdetak. Detik jam
seakan semakin lambat berdetak. Jantungku berdetak. Berdetak lebih cepat. Seakan bunyi genderang ketika akan perang.
Terasa dingin. Aku merasakannya. Kakiku dingin.
“Ya Tuhan,
kenapa tangan ini tak mau terangkat. Mulut ini tak berani berucap. Aku tahu
jawanbannya.” Sungguh, detik
jam kala itu, seakan kalah dengan detak jantungku.
“Deg…, deg…,
deg…,”
Saat tangan ini mulai
terangkat, seketika itu mulai ada suara. “Ya,
silahkan.” Suara sang guruku. Seorang anak yang duduk di belakang
mengacungkan tangannya. Mengatakan jawabannya.
“Oh…, Tuhan. Aku
kalah dari dia.” dalam batinku,
aku merasa bersalah pada diriku sendiri. Dia lebih berani dari aku.
“Ya
kita beri tepuk tangan, karena teman kalian ini telah berani duluan menjawab.
Kita beri tepuk tangan.”
“plok…
plok, plok, plok”
Sebuah penghargaan dari
guruku. Tangankupun seraya ikut memberikannya tepuk tangan. Keberanian. Dia
lebih berani dari aku saat ini. Keberanian. Tampaknya itu yang harus aku
tanamkan dalam diriku. Detik-detik tadi itu. Membuatku sadar. Membuatku
mengerti. Bahwa hidup ini juga butuh keberanian. Jadi, sesuatu yang harus aku
tanamkan. Detik-detik ke depan nanti, hingga esok sampai kapanku, aku akan dan
harus menanamkan dan memunculkan keberanian yang lebih, dalam diriku, dan
hidupku ke depan. Tak akan kalah oleh waktu. Bahkan hanya untuk detik-detik
jam. Akan ku taklukan setiap detik jam hidup ini. Bahwa, waktu itu tak bisa
berhenti dan tak akan kembali ke masa lalu, yang bisa aku lakukan, manfaatkan
waktu ini untuk merubah hari esok yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar